Lagu 17 Agustus 1945
Agustus 10, 2012 Tinggalkan komentar
Tujuh belas agustus tahun empat lima
Itulah hari kemerdekaan kita
Hari merdeka nusa dan bangsa
Hari lahirnya bangsa Indonesia
Merdeka
Sekali merdeka tetap merdeka
Selama hayat masih di kandung badan
Kita tetap setia tetap setia
Mempertahankan Indonesia
Kita tetap setia tetap setia
Membela negara kita
Judul : Hari Merdeka / Tujuh Belas (17) Agustus
Pencipta Lagu : H. Mutahar
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dikumandangkan pada hah Jum’at, 17 Agustus 1945, jam 10.00 pagi, di Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Setelah pernyataan kemerdekaan Indonesia, untuk pertama kali secara resmi bendera kebangsaan merah putih dikibarkan oleh dua orang pemuda, Latief Hendraningrat dan Suhud. Bendera ini dijahit tangan oleh Ibu Fatmawati Soekarno dan bendera ini pula yang kemudian disebut “bendera pusaka”.
Bendera pusaka berkibar siang dan malam di tengah hujan tembakan sampai Ibukota Republik Indonesia dipindahkan ke Yogyakarta. Pada tanggal 4 Januari 1946, karena aksi teror yang dilakukan Belanda semakin meningkat, presiden dan wakil presiden Republik Indonesia dengan menggunakan kereta api meninggalkan Jakarta menuju Yogyakarta. Bendera pusaka dibawa ke Yogyakarta dan dimasukkan dalam koper pribadi Soekarno. Selanjutnya, ibukota dipindahkan ke Yogyakarta.
Tanggal 19 Desember 1948, Belanda melancarkan agresinya yang kedua. Presiden, wakil presiden dan beberapa pejabat tinggi Indonesia akhirnya ditawan Belanda. Namun, pada saat-saat genting dimana Istana Presiden Gedung Agung Yogyakarta dikepung oleh Belanda, Soekarno sempat memanggil salah satu ajudannya, Mayor M. Husein Mutahar. Sang ajudan lalu ditugaskan untuk untuk menyelamatkan bendera pusaka. Penyelamatan bendera pusaka ini merupakan salah satu bagian “heroik” dari sejarah tetap berkibarnya Sang Merah putih di persada bumi Indonesia. Saat itu, Soekarno berucap kepada Mutahar:
“Apa yang terjadi terhadap diriku, aku sendiri tidak tahu. Dengan ini aku mem-berikan tugas kepadamu pribadi. Dalam keadaan apapun juga, aku memerintahkan kepadamu untuk menjaga bendera kita dengan nyawamu. Ini tidak boleh jatuh ke tangan musuh. Di satu waktu, jika Tuhan mengizinkannya engkau mengembalikannya kepadaku sendiri dan tidak kepada siapa pun kecuali kepada orang yang menggantikanku sekiranya umurku pendek. Andaikata engkau gugur dalam menyelamatkan bendera ini, percayakanlah tugasmu kepada orang lain dan dia harus menyerahkannya ke tanganku sendiri sebagaimana engkau mengerjakannya.”
Sementara di sekeliling mereka bom berjatuhan dan tentara Belanda terus mengalir melalui setiap jalanan kota, Mutahar terdiam. Ia memejamkan mataya dan berdoa, Tanggungjawabnya terasa sungguh berat. Akhirnya, ia berhasil memecahkan kesulitan dengan mencabut benang jahitan yang menyatukan kedua bagian merah dan putih bendera itu.
Dengan bantuan Ibu Perna Dinata, kedua carik kain merah dan putih itu berhasil dipisahkan. Oleh Mutahar, kain merah dan putih itu lalu diselipkan di dasar dua tas terpisah miliknya. Seluruh pakaian dan kelengkapan miliknya dijejalkan di atas kain merah dan putih itu. Ia hanya bisa pasrah, dan menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Yang ada dalam pemikiran Mutahar saat itu hanyalah satu: bagaimana agar pihak Belanda tidak mengenali bendera merah-putih itu sebagai bendera, tapi hanya kain biasa, sehingga tidak melakukan penyitaan. Di mata seluruh bangsa Indonesia, bendera itu adalah sebuah “prasasti” yang mesti diselamatkan dan tidak boleh hilang dari jejak sejarah.
Benar, tak lama kemudian Presiden Soekarno ditangkap oleh Belanda dan diasingkan ke Prapat (kota kecil di pinggir danau Toba) sebelum dipindahkan ke Muntok, Bangka, sedangkan wakil presiden Mohammad Hatta langsung dibawa ke Bangka. Mutahar dan beberapa staf kepresidenan juga ditangkap dan diangkut dengan pesawat Dakota. Ternyata mereka dibawa ke Semarang dan ditahan di sana. Pada saat menjadi tahanan kota, Mutahar berhasil melarikan diri dengan naik kapal laut menuju Jakarta.
Di Jakarta Mutahar menginap di rumah Perdana Menteri Sutan Syahrir, yang sebelumnya tidak ikut mengungsi ke Yogyakarta. Beberapa hari kemudian, ia kost di Jalan Pegangsaan Timur 43, di rumah Bapak R. Said Soekanto Tjokrodiatmodjo (Kepala Kepolisian RI yang pertama).
Selama di Jakarta Mutahar selalu mencari informasi dan cara, bagaimana bisa segera menyerahkan bendera pusaka kepada presiden Soekarno. Pada suatu pagi sekitar pertengahan bulan Juni 1948, akhirnya ia menerima pemberitahuan dari Sudjono yang tinggal di Oranje Boulevard (sekarang Jalan Diponegoro) Jakarta. Pemberitahuan itu menyebutkan bahwa ada surat dari Presiden Soekarno yang ditujukan kepadanya.
Sore harinya, surat itu diambil Mutahar dan ternyata memang benar berasal dari Soekarno pribadi. Isinya sebuah perintah agar ia segera menyerahkan kembali bendera pusaka yang dibawanya dari Yogya kepada Sudjono, agar dapat dibawa ke Bangka. Bung Karno sengaja tidak memerintahkan Mutahar sendiri datang ke Bangka dan menyerahkan bendera pusaka itu langsung kepadanya. Dengan cara yang taktis, ia menggunakan Soedjono sebagai perantara untuk menjaga kera-hasiaan perjalanan bendera pusaka dari Jakarta ke Bangka.
Itu tak lain karena dalam pengasingan, Bung Karno hanya boleh dikunjungi oleh anggota delegasi Republik Indonesia dalam perundingan dengan Belanda di bawah pengawasan UNCI (United Nations Committee for Indonesia). Dan Sudjono adalah salah satu anggota delegasi itu, sedangkan Mutahar bukan.
Setelah mengetahui tanggal keberangkatan Soedjono ke Bangka, Mutahar berupaya menyatukan kembali kedua helai kain merah dan putih dengan meminjam mesin jahit tangan milik seorang istri dokter yang ia sendiri lupa namanya. Bendera pusaka yang tadinya terpisah dijahitnya persis mengikuti lubang bekas jahitan tangan Ibu Fatmawati. Tetapi sayang, meski dilakukan dengan hati-hati, tak urung terjadi juga kesalahan jahit sekitar 2 cm dari ujungnya.
Dengan dibungkus kertas koran agar tidak mencurigakan, selanjutnya bendera pusaka diberikan Mutahar kepada Soedjono untuk diserahkan sendiri kepada Bung Karno. Hal ini sesuai dengan perjanjian Bung Karno dengan Mutahar sewaktu di Yogyakarta. Dengan diserahkannya bendera pusaka kepada orang yang diperintahkan Bung Karno maka selesailah tugas penyelamatan yang dilakukan Husein Mutahar. Sejak itu, sang ajudan tidak lagi menangani masalah pengibaran bendera pusaka.
Tanggal 6 Juli 1949, Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta kembali ke Yogyakarta dari Bangka dengan membawa serta bendera pusaka. Tanggal 17 Agustus 1949, bendera pusaka dikibarkan lagi di halaman Istana Presiden Gedung Agung Yogyakarta.
Naskah pengakuan kedaulatan lndonesia ditandatangani 27 Desember 1949 dan sehari setelah itu Soekarno kembali ke Jakarta untuk memangku jabatan Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS). Setelah empat tahun ditinggalkan, Jakarta pun kembali menjadi ibukota Republik Indonesia. Hari itu juga, bendera pusaka dibawa kembali ke Jakarta.
Untuk pertama kalinya setelah Proklamasi bendera pusaka kembali dikibarkan di Jakarta pada peringatan Detik-detik Proklamasi 17 Agustus 1950.
MENGENAL PENCIPTA LAGU HARI KEMERDEKAAN INDONESIA
Setiap tahun apabila kita merayakan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia sudah bisa dipastikan bahwa kita akan sering mendengar Lagu Hari Merdeka yang diciptakan oleh Bapak Husein Mutahar (Alm) yang dinyanyikan baik itu oleh anak-anak, maupun orang dewasa. Namun dibalik lagu itu, tahukah anda siapa tokoh pencipta lagu tersebut ? Disini aku mencoba untuk menuliskan sedikit tentang beliau yang aku cuplik dari berbagai sumber.
Bapak H. Husein Mutahar lahir di Semarang, Jawa Tengah pada tanggal 5 Agustus 1916. Perjalanan pendidikan formalnya dimulai dari ELS (Europese Lagere School atau sama dengan SD Eropa selama 7 tahun) , kemudian dilanjutkan ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Ondewwijs atau sama dengan SMP selama 3 tahun) dan dilanjutkan ke AMS (Algemeen Midelbare School atau sama dengan SMA selama 3 tahun) Jurusan Sastra Timur khususnya Bahasa Melayu, di Yogyakarta. kemudian beliau melanjutkan ke Universitas Gajah Mada dengan mengambil Jurusan Hukum dan Sastra Timur dengan khusus mempelajari Bahasa jawa Kuno namun perkuliahan nya hanya 2 tahun karena selanjutnya drop out (DO) karena harus ikut berjuang.
Kemudian tentang riwayat pekerjaan beliau antara lain adalah :
- Guru Bahasa Belanda di SD Islam swasta di Pekalongan,
- Wartawan berita kota dari Surat Kabar berbahasa Belanda “Het Noorden ” di Semarang tahun 1938,
- Klerk di Cosultatie Bureau der Afdeling Nijverheid voor Noord Midden Java, Departement Ekonomische Zaken, 1939-1942
- Sekretaris Keizai Bucho (Kepala Bagian Ekonomi) Kantor Gubernur Jawa Tengah, 1943.
- Pegawai Rikuyu Sokyoku (Jawatan Kereta Api Jawa Tengah Utara) di Semarang, 1943-1948.
- Sekretaris Panglima Angkatan Laut Republik Indonesia, 1945-1946.
- Ajudan III, kemudian Ajudan II Presiden Republik Indonesia 1946-1948.
- Pegawai Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, 1969 – 1979.
- Diperbantukan pada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan sebagai Direktur Jenderal Urusan Pemuda dan Pramuka (Dirjen Udaka) Departemen P&K, 1966-1968.
- Diangkat menjadi Duta Besar Republik Indonesia pada Tahta Suci di Vatikan, 1969-1973.
- Direktur Protokol Departemen Luar Negeri merangkap Protokol Negara, 1973-1974
- InspekturJenderal Departemen Luar Negeri dan selama 16 bulan, merangkap Direktur Protokol dan Konsuler Departemen Luar Negeri, merangkap Kepala Protokol Negara, 1974.
- Pensiun sebagai Pegawai Negeri Sipil, golongan IVe.
Dalam kehidupan ber-Organisasi pengalaman beliau adalah sbb :
- Pemimpin Pandu dan Pembina Pramuka, 1934-1969
- Anggota Partai Politik, 1938 – 1942
- Kepala Sekolah Musik di Semarang, sebagai tempat penanaman, penyebaran, dan pengobaran semangat kebangsaan Indonesia, dan sebagai gerakan penyebaran semangat melawan Jepang dan kamuflase gerakan subversi melawan Jepang, 1942-1945
- Anggota AMKRI (Angkatan Muda Kereta Api Indonesia) di Semarang, 1945.
- Anggota BPRI (Badan Pemberontak Rakyat Indonesia) Jawa Tengah, 1945.
- Anggota redaksi majalah Revolusi Pemuda, 1945-1946.
- Gerilya, 1948-1949
- Ikut mendirikan dan bergerak sebagai pemimpin Pandu serta kemudian menjadi anggota Kwartir Besar Organisasi Persatuan dan Kesatuan Kepanduan Nasional Indonesia Pandu Rakyat Indonesia, 28-12-1945 s.d. 20-5-1961
- Ikut mendirikan dan bergerak sebagai Pembina Pramuka, duduk sebagai anggota Kwartir Nasional Gerakan Pramuka dan Andalan Nasional Urusan Latihan, 1961-1969
- Sekretaris Jenderal Majelis Pembimbing Nasional Gerakan Pramuka, 1973 -1978, dan anggota biasa, 1978-2004.
Sekilas cerita tentang terciptanya Lagu Hari Merdeka yang sering diperdengarkan pada saat Aubade HUT Proklamasi Kemerdekaan RI, menurut pengakuan beliau sendiri, diciptakan di dalam toilet Hotel Garuda Yogyakarta. Ketika itu ia sekamar dengan Hugeng yang kemudian menjadi Kepala Polri, dimana pada saat itu sedang bersama-sama mengawal Bung Karno. Hugeng kebingungan mencarikan kertas dan pulpen karena Mutahar tergopoh-gopoh hendak menuangkan gagasannya ke atas kertas. Selanjutnya, karya cipta lainnya dari H. Mutahar yang cukup dikenal adalah lagu SYUKUR. Menurut beliau, lagu Syukur ini diciptakan pada tahun 1944, adalah sebuah puji syukur yang dipersiapkannya untuk menyambut Kemerdekaan RI yang ketika itu diduganya sudah hampir tercapai.
Bapak Husein Mutahar kemudian meninggal dunia pada tanggal 9 Juni 2004 pada usia 87 tahun. Walaupun beliau berhak dimakamkan di Makam Taman Pahlawan Kalibata karena memiliki Tanda Kehormatan Negara Bintang Mahaputera atas jasanya menyelamatkan Bendera Pusaka Merah Putih dan juga memiliki Bintang Gerilya atas jasanya ikut berperang gerilya pada tahun 1948 – 1949 tetapi Beliau tidak mau dan kemudian dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Jeruk Purut, Jakarta Selatan.
Sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/H._Mutahar
http://www.youtube.com/watch?v=sPXZIvUMgJE&feature=player_embedded
http://aqiegaul.blogdetik.com/2008/08/14/h-mutahar-sang-pencipta-lagu-hari-merdeka/